Selasa, 10 Juli 2012

Sejarah Gerakan Buruh Indonesia

Sejarah Gerakan Buruh Indonesia

 

Perlawanan rakyat Indonesia melawan penindasan sudah berlangsung berabad-abad, semenjak masuknya imperialisme asing di abad 16. Pada masa sebelum terjadinya imperialisme di Indonesia, corak kehidupan bangsa mengikuti sistem feodalisme.
  1. Pra-imperialisme asing

Pada masa feodalisme murni ini, terjadi pemusatan kekuasaan pada segelintir kelompok masyarakat yang dikenal sebagai kaum bangsawan, dan dipimpin oleh seorang raja atau sultan.
Dalam menjalankan roda perekonomian di daerah kekuasaannya para bangsawan menjalankan usaha agraris (pertanian) yang dilaksanakan oleh para tuan tanah, di mana para tuan tanah memerintahkan petani penggarap untuk bercocok tanam sesuai dengan apa yang diperintahkan para tuan tanah. Hasil dari pertanian yang dijalankan petani penggarap di berikan sepenuhnya kepada tuan tanah, dan sebagai upah atas kerja petani penggarap hanya diberikan sedikit hasil tani yang dapat menghidupinya sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup yang sangat sederhana. Dan mereka diberi lokasi tempat tinggal di sekitar tanah garapan yang sebenarnya tanpa disadari petani juga dijadikan sebagai penjaga tanah dan garapannya tersebut.
Penjualan dan distribusi hasil tani dijalankan para tuan-tuan tanah dengan dibantu kelompok pedagang yang memilik akses ke berabagi daerah lain yang membutuhkan hasil-hasil pertanian tersebut. Keuntungan yang didapat dimiliki sepenuhnya oleh para tuan tanah. Sebagai imbalan ke pihak bangsawan, tuan tanah memberikan berupa upeti atau persembahan yang pada dasarnya memohon agar mereka diberi hak lagi untuk menjalankan usaha di lokasinya.
Di sini dapat dilihat bahwa pada corak kehidupan feodal, penindasan terhadap rakyat kecil (dapat dianggap bahwa para petani atau petani tak bertanah mempunyai kelompok masyarakat yang berjumlah besar dibanding kelompok masyarakat yang lain) terjadi secara sistematis (terstruktur). Penindasan secara langsung jelas dilakukan oleh para tuan tanah dengan tidak memberikan imbalan yang layak kepada petani penggarap yang sesuai dengan nilai kerja mereka. Dapat dipastikan bahwa tingkat kehidupan petani tidak akan beranjak ke tingkat yang lebih baik sampai kapanpun. Penindasan terhadap petani oleh tuan tanah dilakukan untuk mendatangkan keuntungan yang maksimal bagi tuan tanah mengingat mereka harus mengeluarkan biaya persembahan (upeti) kepada kaum bangasawan yang menguasai secara politik.
Sistem ekonomi feodal telah membentuk struktur masayarakat sebagai berikut :
  • Raja dan bangswan, mewakili kelas penguasa politik, dimana mereka membuat segala aturan dalam politik kekuasaan ataupun ekonomi.
  • Tuan tanah, sebagai pemilik alat produksi (berupa tanah) dan mengambil keuntungan dari hasil produksi tersebut. Perlu diingat bahwa kepemilikan alat produksi dari si tuan tanah tidaklah didapat dari suatu mekanisme kepemilikan yang mandiri. Kepemilikan tanah diberikan oleh raja (atau bangsawan)dalam bentuk hak pengelolaan dengan imbalan upeti. Ini nantinya yang akan membedakan corak produksi kapitalisme, kepitalisme pinggiran, dan feodal.
  • Pedagang, sebagai kelompok yang mendistribusikan barang. Mereka mengambil keuntungan dengan mendapatkan selisih harga beli dari tuan tanah dan harag jual pembeli di tempat lain.
  • Petani penggarap,merupakan kelompok mayoritas yang secara ekonomi tidak memiliki kekuasan apapun. Mereka mengabdikan diri sepenuhnya kepada tuan tanah, imbalan yang didapat sangat minim.
(lihat bab-bab awal Zaman Bergerak)
Penghisapan ekonomi dan penindasan politik ini telah membuat kaum tani memberontak melawan kekuasaan raja dan para bangsawan. Baik di masa kerajaan Mataram I (abad VIII-IX), dan jauh sebelumnya, yakni masa Kerajaan Kediri (awal abad XI-XIII), pemberontakan kaum tani yang dimanipulir Ken Arok serta pemberontakan-pemberontakan kaum tani lainnya.
  1. Imperialisme asing
Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.
Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie) tahun 1602. Dalam waktu singkat kapital dagang Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja-raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent, pajak natura. Kekuasaan Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah), Pajak ini mengharuskan sistim monetasi (keuangan) dalam masyarakat yang masih terbelakang sistim monetasinya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya renten dan ijon. Pengganti Raffles, Daendles, Gubernur kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu.
Wilayah Nusantara jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan tanam paksa (Culturstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan-pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5. Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;
7. Pembebanan berbagai macam pajak.
Hindia Belanda, Ajang Kolonialisme/Imperialis Pada pertengahan abad 19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta (seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme) terjadi pula perubahan di Nusantara/Hindia Belanda. Akumulasi kapital yang dimiliki kapitalis dagang ini memberi basis perluasan ekspansi modalnya di Hindia Belanda, menuntut peran kekuasaan modalnya lebih besar dari pada negara. Logika modal seperti itu wajar, agar bisa mulus bertransformasi menjadi kapitalis industri-swasta, mengerosi monopoli negara lebih cepat. Namun, monopoli negara ini tidak berarti state qua state, negara demi negara, atau negara menciptakan kelas, karena logika modal, menyatakan bahwa negara adalah alat kaum modal, cepat atau lambat, kaum kapital akan mengerosi campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Perubahan syarat-syarat kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang.
Metode penghisapan baru yang lebih modern ini, menuntut tersedianya tenaga produktif yang lebih modern, tanah jarahan yang lebih luas (yaitu Sumatera), perubahan dan pembangunan sistim irigasi yang lebih modern, tenaga kerja yang lebih banyak, terampil, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan hubungan produksi pengupahan; bahkan perubahan dalam supra struktur seperti; hukum poenale sanctie, birokrasi, bahasa, pendidikan, bacaan dan terbitan Di sinilah awal kelahiran kaum buruh di Hindia Belanda yang berkesadaran faru pula.
Kemunculan kaum buruh dalam jumlah besar diakibatkan dengan munculnya sistem produksi baru yang mengutamakan sistem pengupahan. Ini berbeda dengan sistem pemberian sedikit hasil tani kepada tani penggarap seperti pada saat sistem produksi feodal. Inilah saat di mana bangsa Indonesia mengenal sistem produksi kapitalis. Penumpukan modal dilakukan oleh para pemilik modal yang menguasai sumber-sumber daya alam dan suatu sistem produksi, bisa dalam bentuk pertanian atau pabrik manufaktur.
Ciri-ciri dari corak kehidupan industri yang muncul pada masa ini :
  1. Munculnya kaum buruh upahan dengan sistem kerja industri kapitalis di tanah jajahan ;
  2. Bertebarannya pabrik-pabrik, terutama pabrik gula, karung goni tekstil, kelapa sawit dan tembakau yang dimiliki kapitalis swasta Belanda dan bangsa Eropa lainnya dan belakangan minyak serta barang galian;
  3. Perubahan dan pembangunan sistim pengairan baru;
  4. Mobilisasi tenaga kerja dalam selubung transmigrasi;
  5. Dikikisnya basis produksi feodal (penyakapan);
  6. Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan modern;
  7. Lahirnya sistim hukum baru yang belum sepenuhnya mengemban ideologi liberal;
  8. Alat propagandanya manipulasi masalah kemanusiaan kaum sosial-demokrat kanan- atau dikenal dengan politik etis.
Di masa kapitalisme kaum buruh upahan dengan produksi yang dihasilkannya mengalami perubahan-perubahan secara cepat. Pengolahan tanah, perubahan sistim irigasi, penggunaan kerbau, sapi dan kuda sebagai alat bajak dan alat angkut tambahan, mesin, pabrik, kapal laut, roda, kereta api, bangunan pabrik, jembatan dll, seluruhnya bermuara menjadi barang dagangan. Kesadaran dan tindakan politiknya -kesadaran membaca, berorganisasi, kursus, rapat, demonstrasi, pertemuan umum, persatuan, forum, debat, polemik, perpecahan, pengrahasiaan, dan akhirnya pemberontakan dan revolusi adalah tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang. Itulah wajah cara produksi kapitalis yang bersifat menghisap/menindas dimasa Hindia Belanda, dan sedang mengalami perlawanan dari rakyat. Kemudian setelah sukses mengikis monopoli negara atau memperlancar swastanisasi, ekspor kapital, kapitalisme berkembang lebih jauh ke tahap imperialisme. Artinya kapitalisme dalam momen tertentu telah menghilangkan kontradiksi di negeri asalnya, namun kontradiksi kelas kemudian jadi meluas ke tanah jajahan dan kompleks. Itulah tanda dari konsekuensi hubungan sosial produksi kapitalis yang memiliki potensi mendapatkan perlawanan dari rakyat tanah jajahan dan rakyat yang sadar di negeri asalnya.
Tanda-tanda berkembangnya kapitalisme ke tanah jajahan sebagai hasil dari imperialisme, yaitu:
  1. Pemusatan produksi dan modal berkembang pesat, hingga menciptakan monopoli-monopoli yang berperan menentukan dalam kehidupan ekonomi;
  2. Paduan kapital bank dan industri. Di atas kapital finans ini dikembangkan oligarki finans;
  3. Ekspor kapital memperoleh arti penting yang luar biasa –berbeda dengan ekspor barang dagangan (komoditi)
  4. Pembentukan serikat-serikat kapitalis monopoli internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendiri;
  5. Pembagian wilayah atas seluruh dunia di antara negara-negara kapitalis dalam tahap tertentu sudah diselesaikan.
Di atas syarat-syarat tersebut, justru gerakan rakyat menunjukkan elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19 hingga saat ini; artinya, terbukti bagaimana gerakan rakyat, sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif, terjadi pada tahap imperialisme.
Perkembangan kapitalisme persaingan bebas ke kapitalisme monopoli akhirnya menunjukan bahwa kaum borjuasi selain berhadapan dengan kaum buruh dalam negeri, juga berhadapan dengan seluruh rakyat di tanah-tanah jajahannya. Ia pun menunjukkan tentang perjuangan yang dipimpin kaum buruh pada masa imperialisme.
Kaum buruh yang terbentuk sebagai akibat dari penghisapan produksi kapitalis, menghasilakan kesadaran akan perlunya perlawanan terhadap pemilik-pemilik modal asing (Belanda). Ketidakpuasan mulai muncul karena dengan upah yang sangat rendah, kaum buruh juga ahrus menghadapi biaya-biaya kehidupan. Barang kebutuhan hidup sederahana mulai digantikan dengan barang-barang yang lebih maju (sebenarnya diciptakan dan diproduksi di pabrik-pabrik manufaktur yang ada). Namun demi menghasilakan keuntungan yang besar (konsekuensi logis dari watak seorang pemilik modal), maka barang-barang tersebut dijual dengan harga yang cukup tinggi. Menghadapi hal ini, jelas kehidupan kaum buruh Indonesia tidak akan mungkin meningkat. Sementara kaum pemilik modal (Belanda) semakin menunjukkan kelebihannya dalam hal kekayaan, maka konflik pun tidak terhindarkan.
Pruduksi kapitalis asing ini seperti disinggung di atas, menunjukkan hasil-hasil produksi manufaktur ataupun pertanian telah berhasil menggeser kekuatan-kekuatan produksi feodal yang masih dipegang segelintir pribumi yang dekan dengan kekuasaan kerajaan. Sistem produksi kapitalis ini sangat mengutamakan efisiensi, yang dibangun dari sisi manajemen dan alat-alat produksi yang modern. Jelas ini tidak dimiliki oleh para penguasa ekonomi feodal, yang pada akhirnya menyebabkan kekuatan ekonomi kerajaan setempat terus merosot. Akibat hal tersebutlah maka kekuatan kerajaan pribumi mulai menunjukkan sikap perlawanan terhadap Belanda.
Perasaan fanatisme terhadap kerajaan sengaja dibangkitkan oleh para raja dan bangsawan terhadap rakyatnya. Maka pada masa ini perlawanan kaum buruh terintegrasi ke dalam perlawanan nasionalisme.
Berawal dari ketertindasan ekonomi (pengupahan, harga barang, kesewenang-wenangan pemilik modal) dan didorong oleh rasa nasionalisme (yang muncul kemudian setelah melihat bahwa pemilik modal tersebut adalah bangsa lain), perlawanan tehadap kekuasaan kapitalis-imperialis muncul dan kaum buruh menjdi basis kekuatan utama.
Perlawanan Pangeran Diponegoro berawal dari adanya penyerobotan tanah oleh kapitalis Belanda (dengan didukung kekuatan militer pemerintah Belanda) terhadap tanah milik keluaraga kesultanan, perlawanan Sisingamraja XII juga berawal dari masalah tanah.Perang Aceh yang terjadi sangat lama berawal dari penguasaan bandar Malaka oleh Belada yang mengakibatkan kemajuan di bandar-bandar pelabuhan milik kerajaan Aceh. Maka Belandapun memutuskan untuk menyerang Aceh. Ini juga memperlihatkan bahwa persaingan ekonomi kerajaan pribumi dengan Belanda menjadi dasar bagi munculnya perlawanan nasionalisme.
KEBANGKITAN GERAKAN BURUH DI INDONESIA
Perjuangan buruh di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, bersamaan dengan bangkitnya kesadaran nasionalisme.
Pada awal abad 20, praktis seluruh kerajaan di bumi nusantara telah dikuasai pemerintah Belanda. Dengan demikian babak sejarah perlawanan kerajaan-kerajaan telah selesai. Bersamaan dengan itu pemerintah Belanda yang dikuasai oleh partai Liberal mulai menegok ke pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, yang sebenarnya juga merupakan kepentingan Belanda untuk mendapatkan tenaga murah (dari kaum pribumi) dan tetap membawa keuntungan (yang lebih besar) ke negeri Belanda. Maka dikenallah program Politik Etis. Salah satu programnya adalah pendidikan (educatie), disamping program irigasi, dan transmigrasi. Dengan pembukaan sekolah-sekolah baru (berorientasi ke Eropa) maka muncullah berbagai pengetahuan baru ke Indonesia. Salah satunya mengenai organisasi.
Salah seorang murid STOVIA, RM Tirto Adisuryo (berasal dari bangsawan rendah Jawa) mendirikan Serikat Priayi, yang berangotakan para bangasawan pengenyam pendidikan Belanda. Namun Serikat priayi tidak berumur panjang. Organisasi ini yang semula direncanakan menjadi alat perjuangan kaum intelektual, menjadi tidak realistis. Ini akibat dari sifat para bangsawan Jawa yang sudah sekian lama menikmati fasilitas dari kerajaan, dan kemudahan-kemudahan dari Belanda.
Sehabis Serikat Priayi, RM Tirto Adisuryo pun mulai melihat kekuatan lain yang cukup punya potensi. Maka bersama KH Ahmad Dahlan mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini dibangun setelah mereka melihat bahwa kepentingan-kepentingan pedagang pribumi yang mayoritas Islam mengalami kekalahan dalam persaingan dengan pedagang-pedagan bermodal besar dari Belanda. SDI inilah organisasi modern pertama yang berbasis kepentingan. Perbesaran SDI sangat luar biasa, dan kemudian setelah beberapa lama, SDI diubah menjadi Sarekat Islam yang anggotanya tidak harus berprofesi pedagang, jenis keanggotaan mulai dari kaum petani, buruh perkebunan, buruk KA, samapai pembantu rumahtangga. Inilah cikal bakal dari munculnya kesadaran kaum buruh Indonesia untuk berorganisasi.
Serikat buruh pertama di Jawa didirikan pada tahun 1905 oleh buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond (Staatspoorwegen Bond). Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang Belanda. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas anggota (826 dari 1.476 orang). Walau begitu, orang-orang pribumi tetap tidak memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912. Pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, dengan naman Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp) Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond, Karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di awah pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an, nama-nama mereka masih sering terdengar di kalangan pergerakan.
Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal Semarang. Tidak seperti banyak pemimpin SI lain yang berlatar belakang wartawan, Semaoen seorang pegawai juru tulis di perusahaan pembangun rel kereta api. Umurnya masih sangat muda ketika memutuskan terjun ke dunia pergerakan. Lahir 1899 dari orang tua yang bekerja sebagai buruh kereta api, Semaoen pada usia 18 tahun telah terpilih menggantikan Mohammad Joesoef, ketua SI Semarang sebelumnya. Semaoen banyak belajar cara mengorganisasi buruh dari Sneevliet, tokoh sosialis-demokrat pendiri ISDV.
Di bawah kepemimpinan Semaoen, SI Semarang tumbuh besar. Anggotanya bertambah dengan cepat, dari hanya 1.700 orang (1916) menjadi 20.000 (1917). Berkecamuknya Perang Dunia I yang juga menyeret negara induk Belanda ke medan perang membuat perekonomian Hindia Belanda, negeri jajahannya, terkena imbas. Inflasi menanjak tajam, sementara upah buruh-buruh tidak ikut naik, atau bahkan turun. Maka mulailah Semaoen mengorganisasikan buruh-buruh SI Semarang untuk mogok. Keberhasilan buruh perabotan mogok diikuti oleh buruh pecetakan, buruh pembuat mesin jahit Singer, buruh bengkel mobil dan buruh transportasi kapal uap dan perahu. Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain menyusul dan menjadikan SI Semarang sebagai pemimpin pergerakan.
Menghadapi gelombang pemogokan buruh di Indonesia, pemerintah kolonial masih bersikap netral selama motifnya ekonomi (tuntuitan normatif). Pemerintah beranggapan bahwa usaha rakyat untuk mengangkat taraf hidupnya akan berpengaruh baik pada kesadaran politik kaum pribumi. Segera saja serikat-serikat buruh baru bermunculan, di samping VSTP, PGHB (serikat guru) dan PPPB (serikat pegawai pegadaian pribumi), antara lain VIPBOW (serikat buruh pekerjaan umum), PFB (serikat buruh pabrik gula), Typografenbond (serikat buruh percetakan), Sarekat Postel dan PPDH (serikat pegawai kehutanan). Serikat buruh terbesar adalah VSTP, PPPB dan PFB, semuanya di bawah naungan Sarekat Islam. PPPB dikontrol oleh SI Surabaya, sedangkan PFB oleh SI Yogyakarta.
PFB dipimpin oleh Soerjopranoto, “si raja mogok”. Berasal dari kalangan bangsawan Pakualaman yang dikenal progresif, Soerjopranoto membantu buruh-buruh pabrik gula menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, kerja delapan jam sehari, libur dengan bayaran satu hari dalam seminggu dan tambahan upah untuk lembur. Jika buruh-buruh berniat mogok, mereka meminta wakil PFB hadir dan membuka cabang. Hanya dalam setahun, PFB tumbuh menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan di Indonesia dengan 90 cabang dan hampir 10.000 anggota. Yogyakarta pun menjadi pusat pergerakan baru, dengan SI sebagai motor didukung oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah.
Medan pergerakan Soerjopranoto meluas hingga Solo. Dari 192 pabrik gula yang ada di Solo, PFB mempunyai cabang di 153 pabrik. Berhasilnya pemogokan merangsang buruh-buruh lain untuk ikut mogok. Pabrik-pabrik menghadapi aksi-aksi buruh dengan memecati para pemogok. Untuk itu PFB juga berusaha membantu keuangan buruh-buruh yang dipecat dan mengusahakan pekerjaan untuk mereka. Pabrik biasanya mengabulkan tuntutan kenaikan upah, tetapi menolak untuk mempekerjakan kembali buruh-buruh yang dipecat dan tidak bersedia mengakui PFB sebagai wakil buruh.
Bocornya rencana pemogokan umum se-Jawa pada Juli 1920 dimanfaatkan oleh residen Surakarta untuk menangkapi para pemimpin SI dan PFB, dengan tuduhan bahwa aksi-aksi buruh yang bersifat ekonomi itu mulai ditunggangi oleh aksi-aksi politik SI, sehingga dikhawatirkan “keamanan dan ketertiban” (rust en orde) bakal guncang. Tindakan pabrik-pabrik gula menaikkan upah buruh 20 – 30% memukul militansi buruh-buruh dan membangkitkan ketakutan mereka terhadap majikan. Beramai-ramai mereka mundur dari keanggotaan PFB. Tak lama PFB pun mati.
PPPB dipimpin Abdoel Moeis mendukung pemogokan buruh-buruh pegadaian Yogyakarta. Abdoel Moeis mengusahakan negosiasi dengan pemerintah agar buruh-buruh yang dipecat dipekerjakan kembali dan dibentuk komite penyelidikan ketidakpuasan para buruh. Penolakan pemerintah berkembang menjadi perjuangan nasional melawan pemerintah, karena tuntutan PPPB didukung pula oleh Central SI, PKI, Revolutionaire Vakcentrale, Boedi Oetomo, Muhammadiyah dan serikat-serikat buruh lainnya. Rencana pemogokan umum PPPB pada Februari 1922 dipotong oleh pemerintah dengan menangkapi para pemimpinnya. Dukungan pun surut, 1.000 buruh dipecat dan PPPB runtuh.
Rencana rasionalisasi semasa Gubernur Jenderal Fock menyulut buruh-buruh kereta api yang tergabung dalam VSTP untuk bergerak. Tahun 1923 pemerintah menghapus tunjangan biaya hidup. VSTP yang berada di bawah kontrol kaum komunis mengancam akan menggerakkan pemogokan jika negosiasi dengan pemerintah gagal atau ada satu saja pemimpin VSTP yang ditangkap. Sebelum VSTP betul-betul siap untuk mogok, pemerintah menangkap Semaoen. Kontan 10.000 buruh kereta api mogok di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Pemerintah menerjunkan tentara di sepanjang jalur kereta api, dan menangkapi para pemimpin VSTP. Pemogokan berhenti dan VSTP hancur karena ditinggal anggotanya.
Dimasa-masa kebesaran serikat Buruh, maka di bawah komando PKI (Perserikatan Komunis Indonesia, merupakan organisasi yang berdiri 23 Mei 1920, organisasi progresif dan berhaluan pada garis massa pertama di Asia), serikat-serikat Buruh komunis mulai melancarkan aksi-aksi massa yang bertujuan mematangkan kondisi revolusi, dan diharapkan akan mencapai puncaknya pada akhir 1926. Perencanaan aksi besar ini terinspirasi dari kemenangan kaum Bolshevik di Rusia, Oktober 1918. Perdebatan terjadi di antara kaum komunis sendiri atau kelompok progresif lain yang tidak berhaluan komunis. Perdebatan yang sangat terkenal terjadi antara Tan Malaka dengan Alimin (PKI), yang berakibat dikeluarkananya Tan Malaka dari Komintern (Komunis Internasional).
PKI pun akhirnya memaksakan rencana aksi tersebut. Pemberontakan pertama di Indonesia yang bertujuan langsung terhadap perebutan negara terjadi di akhir 1926. Seperti yang diduga Tan Malaka, ternyata kondisi rakyat Indonesia belumlah matang, terlihat dari kelambatan beberapa daerah merespon aksi di Jawa. Penumpasan besar-besaran terjadi, militer belanda bekerja keras untuk menumpas kekuatan massa radikal tersebut.
Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.
Pasca 1926 panggung perjuangan politik dikuasai oleh para pemimpin-pemimpin bearasal dari kaum intelektual, hanya sedikit yang melakukan pembangunan di basis massa, aksi-aksi massa yang sebelum 1926 sangat marak menjadi nyaris hilang. Perdebatan-perdebatan politik hanya terjadi di panggung-panggung politik ciptaan Belanda, seperti Volksraad. Ini tidak lain sebagai usaha Belanda memutus hubungan antara kaum terpelajar dengan massa rakyat. Karena akan lebih mudah bagi Belanda menumpas kaum terpelajar yang cukup “vokal”, dengan cara membuangnya ke Belanda atau Digul.
Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju di beberapa kaum radikal/progersif. Pada tahun 1929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme. Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus menerus. Kaum radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dibawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun l939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Dengan GAPI kaum radikal berharap dapat menggunakan perjuangan anti fasisme sekaligus keperjuangan anti-kolonialisme.
Sementara itu di Erapa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu mnyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan administrasi militer Kerja paksa (romusya) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan diantara ne gara-negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis.
Walaupun kaum radikal mengalami jatuh bangun dalam perjuangannya, namun garis perjuangan anti fasis tetap dipertahankan. Kaum radikal melalui organisasi-organisasi pergerakan bawah tanah mulai membentuk Gerakan Anti-fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom) dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling konsisten anti-fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun l943. Di lain pihak, sebab besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang menjadi Bab dari politik elit kaum feodal. Sementara kaum demokrat-liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik koperasi dengan pemerintahan militer Jepang.

Revolusi Agustus 1945

Pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.
Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebab kan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus ’45 memang berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah.
Namun, sebelum kekuatan-kekuatan rakyat mampu dikonsolidasikan oleh kaum radikal guna membentuk pemerintahan koalisi nasional, Amerika telah mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Suksesnya skenario AS untuk menjalankan red drive proposal (proposal politik untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan rakyat) sebenarnya juga merupakan produk tidak adanya unity of command antara kekuatan-kekuatan rakyat yang ada di dalam negeri dengan yang di luar negeri. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidak mampuan kaum radikal dalam mengarahkan sasaran perjuangannya ke arah kaum demokrat-liberal/borjuasi dan Imperialis, setelah kaum fasis dikalahkan pada PD II
Dengan peristiwa tersebut, situasi revolusioner mencapai anti klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Revolusi Agustus ’45 yang adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan buruh. Pada tanggal 15 September 1945 sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama ‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya, yaitu ketika orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun 1949. Dalam konferensi tersebut, BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap organisasi tersebut. Karena sulitnya komunikasi dengan wilayah lain, maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi mereka masing-masing. Di Sumatra misalnya pada bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI). Komite Nasional Indonesia sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konferensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa. Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, tentang perlunya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan.
BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI yang pertama, Mr. Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November 1945, BBI mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis gerakan buruh yang tersebar di Sumatera dan pulau-pulaunya. Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI menjadi partai politik. Rancangan ini mengundang perdebatan di antara para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas dari partai-partai politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat politik dari gerakan buruh. Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai, tanpa harus membubarkan BBI. Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan organisasi ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang pada dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.
Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.
‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada kongres. Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU untuk menghadiri sidang umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa perang, dengan adanya blokade Belanda, maka hubungan badan sentral dengan cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik. SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.
Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI). Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil menyelamatkan diri, terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan. 16 serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari federasi tersebut.
Para tokoh yang semula bergabung kembali pada bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI), bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GSBI). HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI ke panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar itu, golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27 November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta, didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia (FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB). Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra, organisasi buruh bermunculan, begitu pula di Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GABSI), dan di Purwakarta, organisasi sejenis dibentuk dengan nama Ikatan Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI). Di Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh Indonesia (FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di Balikpapan, Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan lainnya.
Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan tertentu. Perbedaan pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis pada masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan sentraisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan yang tidak demokratis dan tidak sejalan dengan perjuangan kepentingan kaum buruh. Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan. Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai tahun 1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya telah melandaskan gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan pengalaman historis kelas buruh Indonesia.
Buruh yang terlibat dalam organisasi tertentu di tahun 1950-an jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional. Serikat-serikat buruh nasional memiliki jumlah anggota yang beragam. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya mengklaim anggotanya sebanyak 600.000 orang. Sementara serikat buruh nasional seperti Perhimpunan Ahli Gula Indonesia (PAGI) hanya memiliki 600 anggota. Label ‘nasional’ yang dikenakan dengan begitu tidak menjamin jumlah anggota yang banyak. Di antara ratusan serikat buruh itu, dapat dilihat adanya empat federasi serikat buruh yang cukup besar dan tiga federasi yang lebih kecil, serta sejumlah organisasi lainnya yang juga mengklaim dirinya sebagai federasi. Keempat federasi serikat buruh itu adalah :
  1. SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk di tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.
  2. Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
  3. SBII didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.
  4. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.
Referensi :
  1. Zaman bergerak
  2. Sejarah Gerakan Buruh
  3. Orang-orang di persimpanghan kiri jalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar